Aku selalu kagum dengan perempuan yang bisa menjalani LDR
alias hubungan jarak jauh dengan pasangannya. Bertemu dengan pasangan seminggu
sekali, sebulan sekali, atau bahkan beberapa bulan sekali. Aku punya teman yang
mempunyai suami bekerja di luar pulau. Sang suami pulang dua bulan sekali.
Terbiasa ditinggal suami membuat Dia sangat mandiri. Ketika Dia hamil sampai
melahirkan anak keduanya, sang suami hanya beberapa kali ada di rumah. Tapi Dia
tetap enjoy menjalani beratnya masa kehamilan seorang diri, hanya ditemani
putri pertamanya yang masih berusia enam tahun. Jika aku di posisinya pasti
sudah setres. Terkesan lebay, tapi seperti itulah aku. Aku tidak bisa menjalani
hubungan jarak jauh.
Aku bersyukur mempunyai pasangan yang bekerja hanya di dalam
kota. Setiap sore pulang ke rumah. Meskipun seharian bekerja, malam Dia sudah
di rumah. Aku memang penakut, tak punya nyali untuk di rumah sendiri kecuali
dalam keadaan terdesak. Yupz, adakalanya kantor suami mengadakan acara di luar
kota saat weekend. Biasanya berangkat jumat siang dan baru kembali hari minggu
sore. Dalam setahun bisa tiga sampai empat kali ke luar kota. Berdasarkan
pengalaman selama ini, info keberangkatan ke luar kota selalu aku terima
sebulan sebelumnya.
Suami paham banget kalau aku tidak suka dikasih tahu secara
mendadak, bakal panik dan setres. Waktu satu bulan juga dirasa cukup untuk
mencari anggota keluarga di kampung halaman yang bisa menemaniku selama
ditinggal suami. Bapak, ibu, atau adik-adikku biasanya dengan senang hati
menemani. Lagi-lagi terkesan lebay ya, ditinggal pergi tiga hari saja sudah panik minta
ditemani keluarga besar. Aku tak suka melihat rumah menjadi sepi.
Itulah kenapa aku katakan LDR bukan styleku. Selain karena
aku penakut dan tidak suka kesepian sendiri,
prinsip tentang membangun rumah tangga yang ideal itu harus ada suami,
istri, dan anak-anak dalam satu rumah menjadi alasan paling logis yang bisa
diterima oleh banyak orang. Seorang suami bukan hanya berperan sebagai pencari
nafkah saja, tapi sebagai panutan dalam keluarga. Ibaratnya bagaimana nasib
para prajuritnya jika panglima perang tidak ada di tempat. Seperti itulah
pentingnya kehadiran sosok suami dalam rumah setiap hari.
Bukan berarti aku
tidak suka dengan teman-teman yang menjalani hubungan jarak jauh dengan
pasangannya. Aku yakin mereka sudah mempertimbangkan dengan matang konsekuensinya
sebelum memutuskan menjalani LDR. Hidup
itu perkara memilih, dan setiap pilihan punya resikonya masing-masing. Begitu
juga menjalani hubungan jarak jauh. Pasti bukan sesuatu yang mudah. Karena LDR
tidak akan berhasil jika tidak ada kepercayaan yang sangat tinggi kepada
pasangannya. Seseorang yang disayangi jauh dari pandangan mata. Sedikit saja hasutan dari pihak ketiga bisa
memperkeruh keadaan.
No comments
Post a Comment