BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ketika seseorang memutuskan untuk membina rumah tangga, tujuan utamanya adalah memperoleh keturunan guna melanjutkan tongkat estafet kekeluargaan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, diperlukan harta kekayaan duniawi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, termasuk di dalamnya suami, istri dan anak-anak. Harta kekayaan tersebut disebut harta perkawinan. Indonesia yang mempunyai latar belakang kemajemukan adat istiadat dan budaya juga mempunyai banyak pandangan tentang harta perkawinan. Masing-masing daerah mempunyai adat istiadat tersendiri terkait dengan harta perkawinan tersebut. Konsep patrilinial, matrilineal, serta bilateral yang ada dalam masyarakat Indonesia sedikit banyak berpengaruh terhadap konsep harta perkawinan yang ada dalam masyarakat hingga saat ini.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah Fungsi dan Arti Harta Perkawinan?
2. Bagaimanakah Pemisahan Harta Perkawinan?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui Fungsi dan Arti Harta Perkawinan
2. Mengetahui Pemisahan Harta Perkawinan
BAB IIHUKUM HARTA PERKAWINAN
A. HARTA PERKAWINAN
1. FUNGSI HARTA PERKAWINAN
Dalam sebuah perkawinan, tujuan utamanya adalah membentuk keluarga yang bahagia dengan hadirnya buah hati. Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
“perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dengan komitmen hidup dalam ikatan perkawinan tersebut, dibutuhkan kekayaan duniawi untuk menunjang kelangsungan hidup mereka sehari-hari bersama anak-anaknya. Kekayaan duniawi inilah yang disebut harta perkawinan atau benda perkawinan atau harta keluarga ataupun harta benda keluarga.
Prof. H. Hilman Hadikusuma dalam bukunya Hukum Perkawinan adat menyatakan bahwa yang dimaksud dengan harta perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami istri, dan barang-barang hadiah. Kesemuanya itu dipengaruhi oleh prinsip kekerabatan yang dianut setempat dan bentuk perkawinan yang berlaku terhadap suami istri yang bersangkutan.
Suami dan istri sebagai satu kesatuan beserta anak-anaknya dalam dalam masyarakat adat dinamakan SOMAH atau SERUMAH (Gezin dalam bahasa Belanda). Sedangkan Kumpulan dari SOMAH-SOMAH yang merupakan keluarga yang besar disebut KERABAT (Fammilie dalam bahasa Belanda). Harta kekayaan yang merupakan kekayaan duniawi untuk memenuhi kebutuhan hidup SOMAH harus dibedakan dengan harta kerabat. Sehingga pada umumnya diperuntukkan pertama-tama bagi keperluan SOMAH yaitu suami, istri, dan anak-anak untuk membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari.
2. PEMISAHAN HARTA PERKAWINAN
Menurut Soerojo Wignjodipoero, SH (1995: 150) dinyatakan bahwa :
“harta perkawinan lazimnya dapat dipisah-pisahkan dalam 4 golongan sebagai berikut:
a. Barang-barang yang diperoleh suami atau istri secara warisan atau penghibahan dari kerabat (famili) masing-masing dan di bawa ke dalam perkawinan.
b. Barang-barang yang diperoleh suami atau istri untuk diri sendiri serta atas jasa diri sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan.
c. Barang-barang yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan istri sebagai milik bersama.
d. Barang-barang yang dihadiahkan kepada suami dan istri bersama pada waktu pernikahan.”
Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH dalam bukunya Hukum Perkawinan Adat menyebutkan bahwa:
“ dalam kedudukan harta perkawinan sebagai modal kekayaan untuk membiayai kehidupan rumah tangga suami istri, maka harta perkawinan itu dapat kita golongkan dalam beberapa macam, sebagaimana di bawah ini:
a. Harta yang diperoleh / dikuasai suami atau istri sebelum perkawinan, yaitu “harta bawaan”
b. Harta yang diperoleh / dikuasai suami istri secara perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan, yaitu “harta penghasilan”
c. Harta yang diperoleh / dikuasai suami istri bersama-sama selama perkawinan, yaitu harta pencaharian”
d. Harta yang diperoleh suami istri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah, yang kita sebut “hadiah perkawinan”.
a. HARTA BAWAAN ( barang-barang yang diperoleh dari warisan atau penghibahan)
Harta bawaan ini dapat dibedakan antara harta bawaan suami dan harta bawaan istri, yang masing-masing masih dapat dibedakan antara harta peninggalan, harta warisan, harta hibah/wasiat dan harta pemberian / hadiah. harta seperti ini disebut PIMBIT (NGAJU-Dayak), SILSILA (Makasar) (BABAKTAN-Bali) (ASAL-ASELI-PUSAKA-Jawa-Jambi-Riau) (GONO,GAWAN-Jawa) (BARANG SASAKA, BARANG BANDA, BARANG BAWA-Jawa Barat). Barang-barang atau harta ini tetap menjadi milik suami atau istri yang menerimanya dari warisan atau penghibahan, juga termasuk kalau mereka bercerai. Apabila salah satu dari mereka meninggal dunia serta mereka tidak mempunyai anak, maka barang-barang itu kembali kepada keluarga dari suami atau istri yang masih hidup.
Harta peninggalan yang dimaksud adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami istri dalam sebuah perkawinan yang berasal dari peninggalan orang tua untuk diteruskan penguasaan dan pengaturan pemanfaatannya guna untuk kepentingan ahli waris bersama, dikarenakan harta peninggalan itu tidak terbagi-bagi kepada setiap ahli waris. Sedangkan yang dimaksud harta warisan adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atu istri ke dalam perkawinan yang berasal dari harta warisan orang tua untuk dikuasai dan dimiliki secara perseorangan guna memelihara kehidupan berumah tangga.
Sedangkan harta hibah / wasiat yang dimaksud adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau istri ke dalam perkawinan yang berasal dari hibah / wasiat anggota kerabat, misalnya hibah atau wasiat dari saudara-saudara ayah yang keturunannya terputus. Adapun maksud dari harta pemberian / hadiah adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari pemberian / hadiah para anggota kerabat dan mungkin juga orang lain yang mempunyai hubungan baik. Misalnya ketika akan melangsungkan perkawinan,anggota kerabat memberikan mempelai pria ternak untuk dipelihara guna bekal kehidupan rumah tangganya, atau anggota kerabat wanita memberi mempelai wanita barang-barang perabot rumah tangga untuk dibawa kedalam perkawinan sebagai barang bawaan.
b. HARTA PENGHASILAN (barang-barang yang diperoleh atas jasa sendiri)
Tidak sedikit seorang suami atau istri telah memiliki harta kekayaan sendiri yang diperolehnya dari kerja kerasnya sendiri. Harta kekayaan tersebut harta penghasilan. Harta penghasilan pribadi ini terlepas dari pengaruh kekuasaan kerabat, pemiliknya dapat saja melakukan transaksi atas harta kekayaan tersebut tanpa bermusyawarah dengan para anggota kerabat yang laim. Namun demikian, apabila barangnya adalah barang tetap, pada umumnya masih harus bermusyawarah.
Barang-barang yang diperoleh sebelum perkawinan di Sumatera Selatan disebut Harta Pembujangan kalau suami yang memperolehnya, sedangkan kalau yang memperolehnya adalah istri maka disebut Harta Penantian. Di Bali tanpa melihat siapa yang memperolehnya disebut Guna Kaya. Barang-barang yang diperoleh dalam masa perkawinan pada umumnya jatuh kedalam Harta Perkawinan, milik bersama suami istri dan apabila terjadi perceraian maka masing-masing dapat menuntut bagiannya. Azas ini sudah menjadi umum sehingga dimana azas ini tidak dapat diterima maka orang dapat mengatakan bahwa di tempat itu terjadi pengecualian. Di aceh setelah perkawinan adakalanya suami mendapat penghasilan sendiri dari hasil usahanya sendiri, terpisah dari harta pencaharian. Di Jawa Barat dalam bentuk perkawinan antara istri kaya dengan suami miskin (nyalindung kagelung), maka suatu harta kekayaan hasil pencaharian istri adalah hak milik istri itu sendiri, walaupun suami bersusah payah membantu dengan tenaganya. Di Jawa Tengah beda lagi, apabila terjadi perkawinan dimana suami lebih kaya dari istri, maka semua hasil pencaharian suami yang diperoleh dalam ikatan perkawinan adalah milik suami itu sendiri.
c. HARTA PENCAHARIAN (barang-barang yang dalam masa perkawinan diperoleh suami istri sebagai milik bersama)
Dengan dasar modal kekayaan yang diperoleh suami istri dari harta bawaan masing-masing dan harta penghasilan masing-masing sebelum perkawinan, maka setelah perkawinan dalam usaha suami istri membentuk dan membangun rumah tangga keluarga yang bahagia dan kekal, mereka berusaha mencari rizki bersama-sama, sehingga dari sisa belanja sehari-hari akan dapat terwujud harta kekayaan sebagai hasil pencaharian bersama, yang kita sebut “harta pencaharian”. Tanpa mempedulikan apakah suami yang bekerja aktif dan istri mengurus rumah dan anak-anak. Harta yang suami-istri peroleh tersebut disebut “harta bersama suami-istri”.Kekayaan milik bersama suami istri ini disebut Harta Suarang- Minangkabau, Barang perpantangan- Kalimantan, Cakkara- Bugis, Druwe Gabro- Bali, Barang Gini, Gono Gini- Jawa. Apabila salah seorang meninggal dunia, lazimnya semua milik bersama itu tetap berada di bawah kekuasaan pihak yang masih hidup, seperti halnya semasa perkawinan. Pihak yang masih hidup itu berhak untuk menggunakan barang-barang milik bersama itu guna keperluan hidupnya. Namun apabila keperluan sehari-hari sudah cukup, maka kelebihannya dapat dibagikan kepada ahli warisnya. Apabila ada anak, maka anaklah yang mendapat harta asal. Apabila tidak ada anak, maka dibagikan kepada kerabat suami dan kerabat istri.
d. HADIAH PERKAWINAN (barang-barang hadiah pada waktu pernikahan)
Barang-barang yang diterima sebagai hadiah perkawinan pada waktu pernikahan biasanya diperuntukkan mempelai berdua, baik yang berasal dari pemberian para anggota kerabat maupun bukan anggota kerabat . Oleh karenanya maka barang-barang tersebut menjadi harta milik bersama suami istri. Akan tetapi, dilihat dari tempat, waktu dan tujuan pemberian hadiah itu, maka harta hadiah perkawinan dapat dibedakan antara yang diterima oleh mempelai pria, yang diterima oleh mempelai wanita, dan yang diterima kedua mempelai bersama-sama ketika upacara resmi pernikahan.
Hadiah perkawinan yang diterima mempelai pria sebelum upacara perkawinan, misalnya berupa uang, ternak, dan lain-lain, dapat dimasukkan kedalam harta bawaan suami, sedangkan yang diterima mempelai wanita sebelum upacara perkawinan masuk dalam harta bawaan istri. Tetapi semua hadiah yang didapat ketika kedua mempelai duduk bersanding dan menerima upacara selamat dari para hadirin adalah harta bersama kedua suami istri, yang terlepas dari pengaruh kekuasaan kerabat, atau hanya dibawah pengaruh orang tua yang melaksanakan upacara perkawinan itu yang kedudukan hartanya diperuntukkan bagi kedua mempelai bersangkutan.
Sebagai contoh, di daerah lampung, dalam upacara perkawinan, barang-barang ringan yang diperoleh saat mereka bersanding seperti kain atau yang sejenisnya diberikan kepada anggota kerabat atau tetangga yang telah membantu memberikan tenaganya di dapur, terutama kepada kaum wanita tua dan muda, yang sudah kawin maupun yang belum kawin. Sedangkan hadiah perkawinan yang berat dan berharga disimpan untuk dimanfaatkan kedua suami istri dalam pergaulan adat dan atau untuk dimanfaatkan bagi kepentingan membangun rumah tangga. Barang-barang hadiah ini merupakan hak milik bersama yang dapat ditransaksikan atas kehendak dan persetujuan bersam suami istri. Di daerah lain barang-barang hadiah perkawinan bercampur dengan harta pencaharian.
Apabila terjadi pemberian hadiah uang atau barang oleh suami kepada istri pada saat pernikahan yang dalam hal ini merupakan “pemberian perkawinan suami”, hal ini seperti “jinamee” (Aceh), “sunrang” (Sulawesi selatan) atau “hook” (minahasa) begitu pula pemberian perhiasan dari suami kepada istri di tapanuli, maka kedudukan pemberian suami ini sama dengan “mas kawin” yang menjadi milik dari istri itu sendiri. Suami tidak boleh menggunakan barang-barang tersebut tanpa ada persetujuan dari istri.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Dalam uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa harta perkawinan adalah harta kekayaan yang dimiliki oleh suami istri, baik diperoleh sebelum perkawinan berupa warisan, hasil kerja keras suami atau istri , hadiah pernikahan maupun harta kekayaan yang diperoleh suami istri secara bersama-sama. Dan harta perkawinan tersebut digunakan untuk menghidupi keluarga yang terbentuk dari perkawinan tersebut yakni suami, istri, dan anak-anak. Dan masing-masing daerah mempunyai tata cara tersendiri dalam mengatur harta perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma, Hilman. 2003, Hukum Perkawinan Adat :Dengan Adat Istiadat Dan Upacara Adatnya. Bandung : PT Citra Aditya Bakti
_____________, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Setiady, Tolib. 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia. Bandung : Alfabeta
Wignjodipoero, Soerojo. 1995, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta : PT Toko Gunung Agung
No comments
Post a Comment